Article Detail
Nilai Kepedulian terhadap Hidup dari Live In
Live in memang sudah menjadi agenda tahunan SMA Santo Carolus untuk memberi bekal nilai-nilai kehidupan bagi para siswanya. Live in tahun ini diadakan selama 5 hari bertempat di kota Ngawi, Jawa Timur, 28/1-1/2/13. Dimulai dengan doa pembukaan oleh Drs. Agus Tri Yuono selaku kepala sekolah, acara berlangsung khidmat. Selanjutnya dipandu oleh Bapak Puji serta seluruh guru pendamping, saya dan teman–teman mulai menaiki bis. Total ada sekitar 160 anak yang mengikuti kegiatan Live in ini.
Perjalanan selama kurang lebih 5 jam tidak membuat kami nampak kelelahan. Kami sangat antusias menyambut keluarga baru kami. Kami tinggal di desa Hargomulyo, lereng barat Gunung Lawu. Berdekatan dengan lokasi kebun teh Jamus. Dengan kondisi geografis yang sedemikian rupa sudah jelas pemandangan alam di lokasi Live in masih sangat asri dan sejuk. Dikelilingi dengan berbagai macam jenis pohon,tumbuhan, serta areal persawahan,dan ladang. Jalanan yang menanjak pun tidak mematahkan semangat kami untuk sesegera mungkin bertemu dengan keluarga kami masing – masing. Setiap rumah penduduk akan ditinggali sepasang murid. Ada sekitar 6 dusun yang ditempati. Beberapa diantaranya adalah Ngroto, Krowe, Nglorok, Tenggir, Belok.
4 Bis rombongan harus berhenti di Pasar Ngrambe karena tidak memungkinkan untuk masuk ke desa – desa. Oleh karena itu untuk mencapai rumah masing – masing kami harus menaiki colt, bahkan ada beberapa diantara para siswa yang masih harus berjalan kaki dijalan yang sangat terjal dan menanjak untuk dapat sampai kerumah orangtua asuh mereka.
Kebetulan saya dan teman serumah saya akan tinggal di rumah keluarga Marto Mikem. Sesampainya dirumah kami disambut dengan hangat oleh keluarga baru kami. Sore itu desa Hargomulyo memang diguyur hujan lebat sehingga kami basah kuyup. Kami dijamu teh manis hangat dan singkong rebus untuk menemani kami bersantai dengan keluarga. Bapak dan Ibu sangatlah ramah dan baik. Usia mereka terpaut sepuluh tahun, bapak berusia 80 tahun sedangkan ibu berusia 70 tahun. Meski begitu, Bapak dan Ibu terlihat masih sangat segar.
3 hari disana merupakan pengalaman yang tidak akan pernah dapat saya lupakan. Selama itu saya dan teman saya membantu ibu dan bapak mengerjakan kegiatan sehari – hari mereka. Hari pertama kami habiskan dengan berbelanja sayur, dilanjutkan dengan memasak makan siang, panen buncis di lading bapak, dan bermain di air terjun Suwono yang letaknya lumayan jauh dari rumah kami. Sedangkan pada hari kedua, aktivitas kami lebih padat. Kami memasak sarapan, mencuci baju dan piring, merabuk di ladang, dan memasang mulsa untuk ditanami kubis. Satu kejadian di hari itu yang membuat saya begitu kagum pada ibu yaitu rasa kepeduliannya terhadap orang lain. Hari itu ibu mengajak kami menjenguk tetangganya yang sakit. Dengan mata berbinar ibu menyiapkan makan siang untuk dibawa sebagai buah tangan. Ditengah keterbatasan dan kesederhanaan hidup mereka, ibu dan bapak masih mau memedulikan orang lain. Mereka mau member dengan ikhlas dan tulus. Hal ini hampir membuat saya menitikkan air mata.
Di hari terakhir saya menemani ibu mengarit rumput di sawah. Hal ini bukan pekerjaan yang mudah bagi saya yang terbiasa di kota. Panas dan terik matahari siang itu sungguh menusuk kulit dan keringat pun bercucuran. Namun melihat semangat bapak dan ibu yang begitu besar, saya lantas tak menghiraukan rasa capek dan panas itu. Menggendong rumput dari atas turun kebawah membuat saya dapat merasakan kehidupan ibu dan bapak setiap harinya.
Setiap malam kami sekeluarga selalu berkumpul di ruang makan dan bersenda gurau. Senang rasanya melihat bapak dan ibu tidak lagi kesepian karena kedatangan kami. Ibu dan bapak mengeluhkan kepulangan kami esoknya. Saya sendiri sudah merasa nyaman dirumah tersebut. Dengan segala situasi dan kondisi disana, saya merasa sangat bersyukur bahwa saya masih punya kesempatan untuk mengenal bapak dan ibu lengkap dengan kehidupan mereka.
Tiba saatnya saya dan teman saya harus berpamitan kepada ibu dan bapak. Rasa sedih menyelimuti benak kami karena harus meninggalkan bapak dan ibu. Namun kami akan tetap menjaga tali silahturahmi ini. Bapak dan ibu membawakan kami pepaya, gethuk, tempe, jamur dan teh untuk dibawa ke Surabaya. Mereka pun mengantarkan kami hingga menaiki colt. Lambaian tangan ibu mengiringi kepulangan kami ke Surabaya.
Begitu banyak cerita dan memori yang masih sangat jelas di ingatan para siswa yang mengikuti Live in tahun ini. Ada duka, suka, kecewa, prihatin, dan banyak lagi. Ini semua menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga bagi kami semua peserta Live in. Nilai–nilai yang kurang kami sadari dalam hidup, kini membuka cara pandang kami…. (git)
Perjalanan selama kurang lebih 5 jam tidak membuat kami nampak kelelahan. Kami sangat antusias menyambut keluarga baru kami. Kami tinggal di desa Hargomulyo, lereng barat Gunung Lawu. Berdekatan dengan lokasi kebun teh Jamus. Dengan kondisi geografis yang sedemikian rupa sudah jelas pemandangan alam di lokasi Live in masih sangat asri dan sejuk. Dikelilingi dengan berbagai macam jenis pohon,tumbuhan, serta areal persawahan,dan ladang. Jalanan yang menanjak pun tidak mematahkan semangat kami untuk sesegera mungkin bertemu dengan keluarga kami masing – masing. Setiap rumah penduduk akan ditinggali sepasang murid. Ada sekitar 6 dusun yang ditempati. Beberapa diantaranya adalah Ngroto, Krowe, Nglorok, Tenggir, Belok.
4 Bis rombongan harus berhenti di Pasar Ngrambe karena tidak memungkinkan untuk masuk ke desa – desa. Oleh karena itu untuk mencapai rumah masing – masing kami harus menaiki colt, bahkan ada beberapa diantara para siswa yang masih harus berjalan kaki dijalan yang sangat terjal dan menanjak untuk dapat sampai kerumah orangtua asuh mereka.
Kebetulan saya dan teman serumah saya akan tinggal di rumah keluarga Marto Mikem. Sesampainya dirumah kami disambut dengan hangat oleh keluarga baru kami. Sore itu desa Hargomulyo memang diguyur hujan lebat sehingga kami basah kuyup. Kami dijamu teh manis hangat dan singkong rebus untuk menemani kami bersantai dengan keluarga. Bapak dan Ibu sangatlah ramah dan baik. Usia mereka terpaut sepuluh tahun, bapak berusia 80 tahun sedangkan ibu berusia 70 tahun. Meski begitu, Bapak dan Ibu terlihat masih sangat segar.
3 hari disana merupakan pengalaman yang tidak akan pernah dapat saya lupakan. Selama itu saya dan teman saya membantu ibu dan bapak mengerjakan kegiatan sehari – hari mereka. Hari pertama kami habiskan dengan berbelanja sayur, dilanjutkan dengan memasak makan siang, panen buncis di lading bapak, dan bermain di air terjun Suwono yang letaknya lumayan jauh dari rumah kami. Sedangkan pada hari kedua, aktivitas kami lebih padat. Kami memasak sarapan, mencuci baju dan piring, merabuk di ladang, dan memasang mulsa untuk ditanami kubis. Satu kejadian di hari itu yang membuat saya begitu kagum pada ibu yaitu rasa kepeduliannya terhadap orang lain. Hari itu ibu mengajak kami menjenguk tetangganya yang sakit. Dengan mata berbinar ibu menyiapkan makan siang untuk dibawa sebagai buah tangan. Ditengah keterbatasan dan kesederhanaan hidup mereka, ibu dan bapak masih mau memedulikan orang lain. Mereka mau member dengan ikhlas dan tulus. Hal ini hampir membuat saya menitikkan air mata.
Di hari terakhir saya menemani ibu mengarit rumput di sawah. Hal ini bukan pekerjaan yang mudah bagi saya yang terbiasa di kota. Panas dan terik matahari siang itu sungguh menusuk kulit dan keringat pun bercucuran. Namun melihat semangat bapak dan ibu yang begitu besar, saya lantas tak menghiraukan rasa capek dan panas itu. Menggendong rumput dari atas turun kebawah membuat saya dapat merasakan kehidupan ibu dan bapak setiap harinya.
Setiap malam kami sekeluarga selalu berkumpul di ruang makan dan bersenda gurau. Senang rasanya melihat bapak dan ibu tidak lagi kesepian karena kedatangan kami. Ibu dan bapak mengeluhkan kepulangan kami esoknya. Saya sendiri sudah merasa nyaman dirumah tersebut. Dengan segala situasi dan kondisi disana, saya merasa sangat bersyukur bahwa saya masih punya kesempatan untuk mengenal bapak dan ibu lengkap dengan kehidupan mereka.
Tiba saatnya saya dan teman saya harus berpamitan kepada ibu dan bapak. Rasa sedih menyelimuti benak kami karena harus meninggalkan bapak dan ibu. Namun kami akan tetap menjaga tali silahturahmi ini. Bapak dan ibu membawakan kami pepaya, gethuk, tempe, jamur dan teh untuk dibawa ke Surabaya. Mereka pun mengantarkan kami hingga menaiki colt. Lambaian tangan ibu mengiringi kepulangan kami ke Surabaya.
Begitu banyak cerita dan memori yang masih sangat jelas di ingatan para siswa yang mengikuti Live in tahun ini. Ada duka, suka, kecewa, prihatin, dan banyak lagi. Ini semua menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga bagi kami semua peserta Live in. Nilai–nilai yang kurang kami sadari dalam hidup, kini membuka cara pandang kami…. (git)
Foto 1
Foto 2
Comments
-
there are no comments yet
Leave a comment